TITIPAN CINTA ABELLA
Pagi masih buta, kota Bandung masih sunyi.
Jalan-jalan besar masih lengang, jauh dari hiruk pikuk macet dan antrian
mobil-mobil pribadi. Kabut masih menyelimuti kota yang indah ini. Mereka para kaum yang abadi dengan hartanya
masih terlelap tidur diatas ranjang bulu dombanya berselimut bulu angsa,
bergaunkan baju tidur sutera yang ulatnya saja diimport dari negeri matahari
terbit. Belum lagi ritual khusus yang selalu dilakukannya sebelum tidur, segala
‘sesaji’ yang selangit harganya berderet rapi diatas meja rias demi sebuah
kecantikan yang menyilaukan mata. Alangkah bahagia hidup menemukan surga dunia.
Kapan aku seperti mereka? Hanya dengan mengacungkan tangan, menujuk ini dan
itu, menghardik para pekerja yang tak sesuai dengan ekspektasinya, begitu mudah
ia menjentikkan tangan mengumpulkan setiap lembar rupiah.bagaimana bisa di
dunia ada takdir yag seperti ini. Bahkan bermimpi saja aku tak berani. Tak
pernah kusangka hidup berjalan seberat ini. Dosa apakah yang telah kubuat di
kehidupanku yang lalu hingga aku bertakdir seperti hari ini. Atau yang manakah
ucapan syukurku yang tertinggal hingga Tuhan kecewa padaku dan mengabaikanku hari ini. Tapi aku masih beriman,
aku yakin Tuhan tak akan menguji hambaNya melewati batas kemampuannya. Semua
pasti ada hikmahnya. Meski barangkali
aku hanya akan tahu apa hikmahnya setelah aku nanti terlelap mimpi
selama-lamanya. Tadinya hidupku normal seperti perempuan muda pada umumnya. Aku
kuliah tahun pertama, keluargaku bahagia. Tapi semua berbalik setelah
kecelakaan dua tahun lalu. Waktu itu aku
sekeluarga, bersama ibu, ayah dan dua orang adik kembarku, usai melakukan
perjalanan wisata ke Ujung Genteng Sukabumi. Waktu itu malam mulai larut saat
kami memasuki jalan menikung di daerah pegunungan menuju kearah Bandung. Taiba-tiba saja dari arah depan sorot lampu
yang begitu silau macam kilat menyorot ke mobil kami, aku yang tengah tertidur
mendengar ayahku bertakbir dengan keras “Allohu Akbar!!!!” crashhhh….tabrakan tak terhindakan, kami sekeluarga
berguling-guling bersama mobil ke sisi jurang. Aku mendengar ibu dan
adik-adikku berteriak menjerit kesakitan. Menyaksikan detik-detik orang tua dan
satu adik kembarku menghembuskan nafas terkhirnya. Begitu pilu mengingatnya dan
aku tak ingin sebenarnya tapi aku melihat semuanya. Tuhan tetap menyadarkanku saat
kejadian. Hingga orang-orang dating menolong kami. Aku depresi selama hampir
enam bulan, sering menjerit bila bayangan kejadian itu muncul. Sedang adikku
yang selamat hingga hari ini masih belum bangun dari komanya, barangkali
sesungguhnya dialam bawah sadarnya ia juga ingin bersama-sama dengan ayah, ibu
dan saudara kembarnya saja disana namun masih berat mninggalkaku sendiri
disini. Kuliah ku terbengkalai, beasiswa ku dicabut, dan sekarang aku bekerja
di sebuah courtyard mewah hanya sebagai seorang buruh cuci piring. Tadinya aku
bekerja di kasir tapi kaena aku melakukan kesalahan fatal, aku lupa minum obat
terapi depresiku aku merusak banyak property dan merugikan pengunjung, aku
hampir dipecat, tapi pemiliknya tak mau rugi aku disimpan di tempat cuci piring
dan hanya dgaji cukup untuk makan sehari-hari. Semua harta dan rumah habis
untuk biaya rumah sakit adikku satu-satunya selama koma. Aku sering menangis
hingga pada akhinya, airmataku mengering, dan aku lupa caranya menangis sekarang.
Aku menjadi introvert, dan dingin pada sekelilingku.
Disaat yang lain terlelap, aku tengah berjalan
menenteng sepatu heelsku satu-satunya
dan kinipun telah menganga pula mulut
depannya. Redup lampu penerangan jalan membuat remang-remang sepanjang jalan
trotoar yang kulewati. Aku berjalan sendiri, hanya seorang diri. Jam 4 pagi,
apa kata orang aku pulang jam segini sudah tak peduli. Teettt…teeteeet suara klakson mobil di belakangku. Mobilnya
berjalan pelan seiring dengan langkahku. Kaca mobilnya terbuka perlahan.
“yuk!”ajak lelaki dibalik kemudi. Aku tak menoleh. Wajahku tetap tak berubah, aku dingin tak memberinya
tanggapan. Lalu pria itu penasaran barangkali. Ia turun dari mobilnya, menghampiriku
yang terus berjalan menatap kedepan. “kenapa sepatunya?”tanyanya lumayan ramah.
“kita beli yang baru yuk..” katanya menawarkan sambil lengannya mulai menempel
ke pundakku. Aku berhenti berjalan, dengan sekuat tenaga kulayangkan sepatu hak
tinggiku itu ke kepalanya. Entah mendarat di sebelah mana aku tidak tahu yang
jelas ia langsung berteriak kesakitan. Laki-laki itu marah dan mencoba
menyakitiku, dia memaki dan menghardik dengan kata-kata kotor dan tak pantas. Aku
mencoba melindungi diri saat ia hampir menonjokku. Tiba-tiba seseorang menarik lenganku
sangat cepat dan membawaku naik kedalam mobilnya. Lalu kami pergi meninggalkan
laki-laki brengsek itu sendiri disana. Aku sedikit merasa lega. “kamu ga papa?”Tanya
orang itu tiba-tiba. Aku menoleh dan baru sadar kalau yang menyelamatkanku
barusan adalah dokter Yogi, dokter yang menangani depresi ku selama ini. Karena
dia aku yang hampi gila bisa tetap waras dan bangkit lagi meski sedikit. Aku menggeleng dan menjawab kalau aku tidak
apa-apa. “Bella..kamu baru pulang kerja?”Tanya nya lagi. Aku mengagguk. “jam
segini??” aku terdiam. Mungkin dia berfikir yang sama dengan kebanyakan orang
diluar sana. Aku sudah pasrah dengan penilaian manusia. “jangan salah
paham..aku tau kamu seperti apa, aku yakin kamu bukan seperti yang laki-laki
tadi kira. Tapi lain kali usahakan kamu ngga pulang jam-jam segini, atau larut
malam…untung saya pulang jaga dan lewat sana tadi, kalu tidak?? Dia bisa nyelakain
kamu..”ucapannya sepenuhnya benar. ” mungkin
lebih baik aku celaka Dok… semua selesai.”ucapku memandang ke jalanan sepi. Dokter
yogi menghentikan mobilnya membuatku tersadar. Aku menoleh padanya, ia sedang
menatapku. “kamu gimana sih Bella?? Percuma selama setahun ini saya berusaha
buat kamu kalau kamu sepeti ini”, dia bicara seolah aku ini kekasihnya, yang
benar aku ini pasiennya. “jangan bicara begitu lagi!! Berjuang demi adikmu” katanya
melanjutkan. Aku lelah, aku tak menjawab apa-apa. “kita beli sepatu kamu dulu,
setelah itu saya antar kamu pulang.”katanya kembali mengemudikan setirnya. Dulu
aku pernah takut hidup, saat semua kesedihan dating silih berganti tapi
kemudian aku mengenal dokter muda bernama Yogi Fernandi, spesialisasinya
kejiwaan. Aku pikir dulu aku memang hampir-hampir masuk rumah sakit jiwa. Kehadirannya
sedikit memberiku oase di tengah padang pasir yang panas dan tandus. Meski dia
kadang-kadang bersifat fana.
Pagi ini aku ke rumah sakit, suster menelepon dan
memintaku untuk datang. Aku bersiap merapihkan diri, sepatu pemberian dokter
Yogi aku pakai. Warnanya peach warna kesukaanku. Dia memilihkannya untukku katanya itu cantik dan cocok dengan warna kulit ku yang putih kngsat
ini. Aku melihat diriku dicermin sejujurnya aku masih cantik. Sejenak aku lupa
semuanya, lalu semua beban hidup itu datang lagi. Akau bergegas berangkat ke
rumah sakit. Di ruang PICU adikku yang malang masih terbaring tak berdaya. “mba
Bella..” aku menoleh kea rah suara “ya suster…” “silahkan masuk dokter sudah
didalam”katanya memersilahkan aku masuk ke ruangan isolasi. Disana nampak Dokter
Dzukfikar dokter yang selama ini menangani Asyam tengah melihat data
perkembangan terakhirnya. Yang tak kusangka dan membuatku bingung ada Dokter
Yogi juga disini. Ia melihatku duluan, ia memandangku seperti terkesima
membuatku risih dan canggung. Ia datang
menghampiriku, melihat sepatu pemberiannya kupakai senyumnya mengembang sumringah.
Dia hendak mengatakan sesuatu tapi dokter Dzulfikar kemudian melihat dan
memanggilku. Aku bergegas menemuinya “gimana Asyam sekarang Dok? ”tanyaku. “sangat
baik, insya Allah, secepatnya kita akan dapat kabar baik ”katanya optimis. “Alhamdulillah…”syukurku
pada yang maha kuasa. Kabar yang lama kutunggu-tunggu. Aku merindukannya, ingin
melihat Asyam adikku sadar dan bicara kepadaku lagi. Agar aku tak merasa sendiri
di dunia ini.
“kaka…” tiba-tiba Asyam sadar dan memanggilku. Aku agak kaget aku langsung menghampiri Asyam, dokter Dzulfikar dan dokter Yogi dibelakangku berdiri turut menghampiri Asyam. “Asyam….”aku menyapanya, senang sekali hatiku melihat kabar baik itu akhirnya terjadi juga hari ini. “alhamdulillah…”ucapku mengecup keningnya. Asyam melihatku sembari tesenyum. Mataku berkaca-kaca senang sekali melihatnya akhirnya sadar. “kaka….”katanya dengan lemah. “kaka….aku..sakit..aku ingin ikut ibu..ayah..”katanya lagi dengan lemah. Air mataku berlinang mendengarya, aku tak sanggup mengucapkan apapun. Hatiku berbalik sedih, benar sepertinya kalau selama dua tahun ini Asyam bertahan hanya karena berat untuk meninggalkanku sendirian di dunia ini. Mungkin hari ini ia bangun hanya untuk ini. aku makin terisak mendengarnya. “kaka..ada Asraf..”katanya lagi. Aku makin terisak, aku menggeleng tak mau ia bicara seperti itu. Aku tidak ingin Asyam meninggalkanku. Aku memeluknya lama. Asyam tertidur lagi, aku hampir kaget mengira ia sudah tak ada. Aku tidak mau kemana-mana. Aku terus disisinya, aku tak ingin ayah,ibu dan Asraf membawanya kalau bisa. Dokter menyarankan aku agar beristirahat. Di ruangan hanya ada kami berdua. Sepanjang malam aku menjaganya. Pagi-pagi aku terbangun, rupanya aku ketiduran juga. Sebuah selimut melingkar di punggungku, aku merasa aneh, karena semalam aku tak mengenakannya. “pagi…”Yogi muncul dari balik pintu. “kamu ga tidur semalaman Bell?”tanyanya. “aku malah ketiduran Dok.. ”jawabku malu. Yogi tertawa,”kamu kecapean itu..”hari ini dokter dzulfikar datang siang, kamu kalo ada apa-apa hubungi saya aja..”. sejujurnya aku agak bingung kenapa harus menghubnginya, sedang Yogi adalah dokterku, dokter spesialis kejiwaan. “kaka…”, pikiranku terpecah semua mendengar suara Asyam.”ya..knapa?”aku agak panik dan cemas. “kaka…aku haus…aku mau minum..” mengambilkannya segelas air minum tapi saat aku kembali,aku melihat Yogi tengah melakukan CPR, sebuah tindakan yang berupaya mengembalikan kerja jantung agar berdegup lagi. Aku syok tak percaya, setengah berlari ku hampiri adikku itu. Aku hanya semenit meninggalkannya Asyam sudah tak sadar lagi. Dan ia benar-benar meninggalkanku. Aku bersimpuh menangis disamping ranjangnya, kakiku tak mampu lagi berdiri. Perjuanganku mempertahankannya berakhir sia-sia. Aku merasa tak kuat dengan semua ini. Dokter memelukku. Dia mencoba menguatkan aku. Tangisku pecah menyayat hati. Seluruh ruangan turut merasakan kepedihan yang kualami. Saat aku keluar dari ruang intensif PICU setiap orang memandangku sedih, mereka semua tahu cerita hidupku yang memilukan hati. Sambil memapahku berjalan Yogi membantuku berjalan. Kesedihanku terlalu dalam, membuat tubuh ini lemas rasa melayang, lalu aku terjatuh di pangkuannya, dan dia membopongku kemudian. Saat sadar aku sudah terbaring di ranjang pasien. Ada suster yang menjagaku, Barangkali mereka takut aku depresi dan berbuat nekat dengan bunuh diri lagi. Sejujurya aku telah pasrah, kemanapun takdir membawaku pergi aku tak akan menjauh dan berusaha lari lagi.
“kaka…” tiba-tiba Asyam sadar dan memanggilku. Aku agak kaget aku langsung menghampiri Asyam, dokter Dzulfikar dan dokter Yogi dibelakangku berdiri turut menghampiri Asyam. “Asyam….”aku menyapanya, senang sekali hatiku melihat kabar baik itu akhirnya terjadi juga hari ini. “alhamdulillah…”ucapku mengecup keningnya. Asyam melihatku sembari tesenyum. Mataku berkaca-kaca senang sekali melihatnya akhirnya sadar. “kaka….”katanya dengan lemah. “kaka….aku..sakit..aku ingin ikut ibu..ayah..”katanya lagi dengan lemah. Air mataku berlinang mendengarya, aku tak sanggup mengucapkan apapun. Hatiku berbalik sedih, benar sepertinya kalau selama dua tahun ini Asyam bertahan hanya karena berat untuk meninggalkanku sendirian di dunia ini. Mungkin hari ini ia bangun hanya untuk ini. aku makin terisak mendengarnya. “kaka..ada Asraf..”katanya lagi. Aku makin terisak, aku menggeleng tak mau ia bicara seperti itu. Aku tidak ingin Asyam meninggalkanku. Aku memeluknya lama. Asyam tertidur lagi, aku hampir kaget mengira ia sudah tak ada. Aku tidak mau kemana-mana. Aku terus disisinya, aku tak ingin ayah,ibu dan Asraf membawanya kalau bisa. Dokter menyarankan aku agar beristirahat. Di ruangan hanya ada kami berdua. Sepanjang malam aku menjaganya. Pagi-pagi aku terbangun, rupanya aku ketiduran juga. Sebuah selimut melingkar di punggungku, aku merasa aneh, karena semalam aku tak mengenakannya. “pagi…”Yogi muncul dari balik pintu. “kamu ga tidur semalaman Bell?”tanyanya. “aku malah ketiduran Dok.. ”jawabku malu. Yogi tertawa,”kamu kecapean itu..”hari ini dokter dzulfikar datang siang, kamu kalo ada apa-apa hubungi saya aja..”. sejujurnya aku agak bingung kenapa harus menghubnginya, sedang Yogi adalah dokterku, dokter spesialis kejiwaan. “kaka…”, pikiranku terpecah semua mendengar suara Asyam.”ya..knapa?”aku agak panik dan cemas. “kaka…aku haus…aku mau minum..” mengambilkannya segelas air minum tapi saat aku kembali,aku melihat Yogi tengah melakukan CPR, sebuah tindakan yang berupaya mengembalikan kerja jantung agar berdegup lagi. Aku syok tak percaya, setengah berlari ku hampiri adikku itu. Aku hanya semenit meninggalkannya Asyam sudah tak sadar lagi. Dan ia benar-benar meninggalkanku. Aku bersimpuh menangis disamping ranjangnya, kakiku tak mampu lagi berdiri. Perjuanganku mempertahankannya berakhir sia-sia. Aku merasa tak kuat dengan semua ini. Dokter memelukku. Dia mencoba menguatkan aku. Tangisku pecah menyayat hati. Seluruh ruangan turut merasakan kepedihan yang kualami. Saat aku keluar dari ruang intensif PICU setiap orang memandangku sedih, mereka semua tahu cerita hidupku yang memilukan hati. Sambil memapahku berjalan Yogi membantuku berjalan. Kesedihanku terlalu dalam, membuat tubuh ini lemas rasa melayang, lalu aku terjatuh di pangkuannya, dan dia membopongku kemudian. Saat sadar aku sudah terbaring di ranjang pasien. Ada suster yang menjagaku, Barangkali mereka takut aku depresi dan berbuat nekat dengan bunuh diri lagi. Sejujurya aku telah pasrah, kemanapun takdir membawaku pergi aku tak akan menjauh dan berusaha lari lagi.
Setelah pemakaman Asyam, aku terdiam di hadapan
empat pusara makam keluargaku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku bahkan
tersungkur di atas tanah tempat mereka terbaring. Aku tak kuasa menahan sendiri
semuanya. Sejujurnya aku juga ingin mati saja. Aku melihat ada botol air tertinggal
bekas pemakaman tadi. Terbesit melakukannya, meski pikiranku berusaha
mengendalikannya, tapi perasaanku membenarkan aku bunuh diri saja. Aku ambil
botol beling itu, kupukulkan pada tembok makam dan seketika pecahlah botol itu
menjadi berkeping-keping. Ku ambil bagian terkecilnya lalu kusayatkan ke pergelangan
tangan. “Bella..!” “Bella apa yang kamu lakuin?..” yogi merebut pechan beling besimbah darah dari genggamanku, dia merangkulku yang terkulai lemas, menempatkan kepalaku dipangkuannya. "Bella...."ucapnya bergetar terdengar hampir menangis. pergelangan tanganku sobek mataku perlahan tertutup dan gelap semuanya. tapi tiba-tiba semua terang benderang.Aku bermimpi,
bertemu semuanya ada ayah, ibu dan kedua adik kembarku. Aku memeluk mereka
melepas rindu. Aku ingin ikut tapi mereka bilang tak boleh. “kaka….berbahagialah…
siapapun yang nanti menjagamu, kami titipkan cinta kami untukmu padanya” Asyam
bicara padaku. Lalu mereka tersenyum sembari berjalan menjauh meninggalkanku.
aku berusaha mengejar tapi tak bisa kukejar justru kini suara lain aku dengar… “Bella…aku
mencintaimu, mungkin kamu ngga pernah sadar, bahwa aku selalu berusaha
menjagamu. aku berusaha mengembalikan dunia yang indah dihatimu lagi. jangan takut lagi untuk hidup, aku yang akan membahagiakanmu mulai saat ini.. jadi bangunlah..dan lihat aku!! sadarlah Bella...!!” suaranya terdengar begitu jelas tapi aku tak melihat
siapapun, sekelilingku kosong. Aku berusaha bangun, sekuat tenaga aku berusaha
kembali sadar. Aku ingin melihat siapa dia. tapi tubuhku lemah tak berdaya.
“Bella…” perlahan mataku terbuka, samar pandanganku
melihat pijar lampu. Aku merasa lemah, tanganku seperti kaku. Seseorang
merangkulku hangat, aku bisa merasakan degupan jantungnya. “syukurlah kamu
akhirnya sadar..” dia berbisik mengelus kepalaku. Aku tak tahu siapakah yang
sedang memelukku ini. Aku ingin melihat wajahnya. Dia melepaskan pelukannya,
wajahnya mendekat, aku melihat dokter Yogi. Ya…dokter Yogi ada dibelakangnya. Bukan Yogi yang memelukku rupanya. Ku tatap wajah orang yang ada dihadapanku, senyumnya
manis sekali, lama tak pernah kutemui senyum itu, dia sahabatku Ratna. Bestfriend
saat SMAdulu. Aku sangat merindukannya. Tempatku berbagi cerita susah dan
senang semasa remaja. Air matanya menetes, ia menangis melihatku, begitupun
aku, banyak yang ingin kuceritakan kepadanya tapi aku hanya mampu mengatakannya
dengan air mata.
Berangsur kesehatanku membaik, ada Ratna yang kini
selalu menjengukku setiap hari. Kuliahnya di Yogya sudah selesai tinggal
menunggu wisuda. Aku turut senang mendengarnya. “Bella…kita hari ini pulang..
kita pulang kerumah aku.” Katanya sambil membuka gorden jendela. “ga usah Rat…ngerepotin,
aku pulang ke kosan aja.. ” “ngga!! pulang krumah aku aja, papa dan mama dah nunggu
dirumah. Jangan coba-coba nolak. Lagian siapa yang akan rawat kamu kalo kamu
pulang ke kosan?” “tapi aku dah sehat Rat, aku ngga knapa-knapa sekarang”aku
berusaha meyakinkan Ratna kalau aku tidak ingin merepotkan keluarganya
“lebih baik
memang kamu tinggal bersama keluarga Ratna, Bella…” tiba-tiba Yogi muncul menimpali
percakapan kami. “kalau kamu mau pulang ke kosan, lebih baik kamu tetap disini”lanjutnya tegas. Ratna melirikku dengan tatapan
menggoda, aku balik memandangnya penuh tanya. “aku udah sehat Dok..”jawabku. “aku takut kamu nekat lagi” kata-katanya
terdengar agak rancu di telingaku. Aku?sejak
kapan dia bicara aku dan kamu seperti ini. “tuh…dokter Yogi aja segitu
khawatirnya, jadi jangan keras kepala lagi! ” ucap Ratna
"baiklah
ayo kita cek lagi pagi ini keadaan kamu.." dokter Yogi memecah
kebingunganku. Ratna masih senyum-senyum lirik-lirik main mata dan alisnya
seperti memberi kode aku masih tak faham apa sebenarnya yang ia
maksudkan.
Kesehatanku
mulai membaik, seminggu sekali aku masih terapi psikisku untuk memulihkan semua
ketegangan emosionalku selama dua tahun terakhir ini. Aku tinggal bersama keluarga
Ratna sekarang. Mereka menjagaku memperlakukan aku seperti keluarganya
sendiri. Kabarku dengan Yogi masih sama,
sebatas dokter dan pasiennya. Sesekali ia
mengirim whatsapp menanyakan keadaanku, hanya kujawab seperlunya. Hari
ini kuputuskan akan mendatangi tempatku bekeja dan memutuskan resign. Setibanya
disana aku langsung ke belakang. “liat bu Irene ga?”tanyaku pada salah satu
teman kerja. “ada tadi sih didepan. Katanya lagi ada tunangannya gituh” “bagus
donk, moodnya brarti lagi bagus, aku muw resign..” aku memelankan suara.
Temanku mengangkat jempol tangannya
sembari senyum. Aku kedepan hendak menemui bu Irene. Sebenarnya ia belum terlalu
tua, baru sekitar 30tahunan kukira. Tapi
disana aku melihat sosok yang tak asing
dimataku. Aku terdiam untuk beberapa saat, untuk apa dia ada disini meskipun
sebenarnya aku tak pantas bertanya kenapa orang yang kukenal ada disini. Tentu saja
segala kemngkinan itu bisa dipantaskan. Karena ini tempat terbuka untuk
siapapun. Aku mulai berfikir barangkali ia tengah makan bersama keluarga
besarnya, dengan teman-temannya, dengan para koleganya atau mungkin dengan
calon istrinya. Aku tak peduli. Yang mengusikku hanyalah kenapa ia begitu intim
berada disamping Irene. Apa sebenarnya selama ini dia tahu aku bekerja di
tempat ini? Aku jadi menebak-nebak apa sebenarnya yang dihadapanku ini. Aku tegakkan
kepala menghampiri Irene, saat aku hampir mendekat dengan mereka, Yogi justru
beranjak dari sisi Irene, kulihat dia berbisik ke telinga Irene, Irene tersenyum
mengangguk lalu Yogi meninggalkannya. Seperti secara tak sadar ia menghindariku. “Bu Irene…”, yang ku sapa menoleh kearahku. Wajahnya
yang belasteran indo belanda yang sebelumnya sumringah berubah masam tak
bersahabat macam VOC yang kehilangan upeti dari rakyat jajahannya. “ada yang mau saya sampaikan..”
matanya memutar sadis, aku aneh melihat dia bisa berubah menjadi sedingin itu
dalam waktu beberapa detik saja. Sangat berbeda raut wajahnya saat dihadapanku dengan saat dia bersama Yogi. Inikah
yang namanya topeng manusia? Akan terdeskripsikan
berbeda pada setiap orang yang
ditemuinya meski disaat hampir bersamaan. “ikut saya!!” ajaknya serius. Aku berjalan
dibelakang mengikuti langkah
anggunnya. Wanita sosialita kota besar, pakaian nya yang tak kulihat ada di
pasar tumpah semodel Gasibu, rambutnya coklat kemerahan macam rambut jagung
berkolaborasi cantik dengan kulitnya yang putih kemerahan. Bagai boneka Barbie kesukaanku
kecil dulu namanya Angela, Barbie pertama dan satu-satunya pemberian ibu karena
kemudian aku berubah haluan dan lebih menyukai robot karena Asyam dan Asraf
selalu memainkannya. Kami masuk ke ruangan kerjanya. Tempat dia memantau pergerakan
pundi-pundi rupiahnya yang dihasilkan dari dapur, terhidang di depan courtyard,
kerja keras kami para karyawan. Irene duduk di kursi singgasana kekuasaannya. “ada
apa?”tanyanya tanpa basa-basi. aku menghela nafas, menyerahkan amplop coklat
yang sedari tadi ku tenteng-tenteng. “saya mau resign Bu Irene..” dia tak
menyentuh amplop yang kuberikan. Dia justru menyandarkan punggungnya ke kursi
hitam mewah itu. “kamu mau resign? Kamu kira urusanmu sudah selesai?” aku
terdiam. “kamu masih banyak berhutang sekarang kamu mau lari? Kamu nantangin
saya laporka kamu ke polisi?? ” “tapi saya sudah selesain total kerugian itu
lebih dari 50%nya Bu Irene…kenapa ga ada kebijksaaan dari ibu untuk saya?” “enaknya
kamu bicara soal kebijakan!! Kamu pikir ini koperasi? Selesaikan pekerjaan kamu
cuci piring sekarang, atau saya angkat telepon dan menghubungi polisi karena
kamu coba-coba lari” ancamnya. Aku keluar dari ruangan. Langkahku gamang
bisakah aku membuatnya jera dengan keangkuhan yang dia perlihatkan. Aku berhenti
di sudut lorong, termenung dengan banyak yang kupikirkan. “Bella…” aku
menegakkan kepala. “ngapain kamu disini?”tanya
Yogi yang tiba-tiba saja sudah ada di hadapanku. “Sayaang…”dari pintu ruangan kerjanya
Irene memanggil Yogi dengan panggilan Sayang. Yogi menoleh padanya lalu
melihatku lagi. “permisi Dok…” pamitku. Aku
kembali ke dapur, melangkah perlahan ke tempat biasa ku berdiri. Setumpuk piring
kotor dan sekuunya menanti. Kupandang sekeliling, mereka semua hanya bekerja
tak pedulikan perasaan yang terpenting adalah kebutuhan keluarga yang
menantikan mereka dirumah. Tanggung jawab pada keluarga mengabaikan egois, harga diri hingga perasaan. Semua sekedar rutinitas demi upah di
penghujung bulan. Aku teringat kelargaku, mengingat ayah yang telah bekerja
keras demi memenuhi kebutuhan kami sekeluarga. Kini aku tahu beban berat dan lelah
yang menderanya. Dalam hati kukirimkan alfatihah dan doa orang tua untuknya. Tanganku
baru memulai hendak mengambil satu piring kotor, tiba-tiba lenganku ditarik
kasar, seketika piring yang kupegang terlepas jatuh dan pecah dilantai.plakk!! sebuah tamparan keras mendarat
di pipiku. Aku terhuyung sesaat sebelum aku sadar kalau pipiku kini perih. “kamu!!
Jangan sok lugu dan cari perhatian lagi di depan tunangan saya!!”ancamnya
dengan raut wajah serius. Aku bingung dengan apa yang membuatnya marah. “saya
ga ngerti apa maksud ibu??” Irene mendorongku hingga jatuh lalu dengan jahatnya
ia siramkan air kotor ke bajuku. ”Irene!!!”hardik Yogi yan baru datang dari
baik pintu. “apa-apaan ini?! Kamu keterlaluan!!” Yogi mencoba membantuku tapi aku mengelak, air
mataku jatuh. “kamu ga boleh bantuin dia!!” irine mengamuk tak terkendali. “kamu
ga tau siapa dia??”teriaknya lagi. “Irene
stop!!! Dia pasien aku, Aku jauh lebih mengenal dia daripada kamu.!!”.
aku malu teman-teman kerjaku melihat kejadian ini. Mereka menonton drama live
tanpa edit seperti ini. Aku berdiri perlahan dan Yogi kembali membantuku. “oooh….jadi
dia ini pasien kamu, pantesan aja… memang dia orang gila kalau begituh, ok!! Aku
gakan cemburu lagi, gamau gue cemburu ma orang gila”cibirnya membuatku menangis
dan meninggalkan dapur. Plakk sekali
lagi aku mendengar sebuah tamparan, kini kita satu sama Irene pikirku dalam
sedetik saja. Samar sembari aku keluar terdengar olehku Yogi mengatakan putus
dan pertunangan mereka batal. Irene berteriak dan aku tak tahu lagi setelahnya.
Dokter Yogi tunangan bosku di courtyard. Aku tak percaya dunia terlalu sempit untukku
melangkah
Sejak kejadian itu aku tak pernah
kembali ke rumah sakit. Sudah lima bulan berlalu. Ratna sudah diwisuda,
sekarang ada gelar sarjana sarjana teknik sipil dibelakang namanya. Aku cemburu
dengan keberhasilannya. Hari itu kami semua turut bahagia mengantarnya
diwisuda. Ratna mmemelukku erat. Kami sama-sama menangis. “bella… terusin
kuliah kamu lagi ia.. kita mulai semester depan. ” katanya. Aku kaget, lalu
ayah dan ibunya memelukku penuh cinta. “kami senang kalau Bella mau melanjutkan
kuliah lagi.. mau kan??”tanya ibunda Ratna, aku mengangguk angguk penuh haru. “makasih
ma…pa…”ucapku terisak. “ah…udah jangan sedih-sedih terus, kita makan yuk
mah..pah..? laper ini..”ajak Ratna. Kami semua tertawa setuju. “Bella ke toilet
dulu kalo gitu ia..”pamitku. aku berjalan memecah kerumunan wisudawan
wisudawati dan para keluarganya. Aku melihat pemandangan yang amat mahal. Banyak
diantara mereka yang diantar keluarga besarnya, sanak famili, keluarga calon
pasangan hidup, ada yang membawa rombongan sampai 3 mobil. Mereka berhasil
membanggakan hati orangtua dan orang-orang disekitarnya. Mendadak aku
merindukan ayah, ibu, Asyam dan Asraf. Mataku nanar tapi aku kini mulai tabah
dan sudah ikhlas. Aku duduk di sebuah bangku usai ke toilet, memandang mereka
semua, tak ada satupun yang bersedih. Semua tertawa bahkan tangispun itu karena
terlalu bahagia. Hari ini aku senang, akhirnya aku bisa kuliah lagi. Aku mendapat
keluarga baru, dengan limpahan kasih sayang dan cinta dari mereka. Aku teringat
Asyam “kaka….berbahagialah…! siapapun
yang nanti menjagamu, kami titipkan cinta kami untukmu padanya”aku tersenyum
mengingatnya, air mataku menetes. Mereka tidak berbohong. Aku beranjak dari tempat itu dan kembali, berjalan
sambil melihat handphoneku yang berbunyi. Ratna menelepon, “dimana Bell?” “ni
muw kesitu..lupa sebelah mana tadi..” aku tiba-tiba bingung karena terlalu banyak
orang. “kalo gituh ditunggu di mobil aja ia” “ok” aku sibuk dengan teleponku
hingga menabrak seseorang “maaf..”ucapku Handphoneku terjatuh, aku berjongkok
mengambilnya “maaf..maaf..mbak” kami sama-sama mengucapkan maaf dan kami sama-sama
kaget saat bertatap muka. “Bella….” Yogi lebih dulu menyapaku. Aku tersenyum canggung
“apa kabar Dok?” “sekarang di Yogya?”tanyanya “Ratna hari ini wisuda, kami
semua kesini”jawabku singkat. ”kebetulan dah seminggu saya tugas di RSUD Yogyakarta,
dan hari ini teman saya wisuda S2 nya, jadi saya ada disini”, sungguh aku tak bertanya
meskipun itu membuatku tahu kenapa ia ada disini. “kamu ga pernah ke rumah
sakit lagi”. Ucapannya terdengar samar antara bertanya dan tidak. Aku hanya
senyum kecil menggelengkan kepala. ”itu bagus..”katanya memuji. “kalo gitu saya duluan dok, permisi”, Yogi
menahan lenganku. Jantungku berdegup lebih kencang. “kita ketemu lagi kan??”
tanyanya dengan tatapan yang dalam.
Aku diam mata kami saling menusuk
kedalam kalbu. Saling melempar pesan rindu yang tak mampu terucapkan. Aku
berpaling dari matanya tak kuasa berlama-lama, bisa tak berdaya aku
dihadapannya, tak sengaja kulihat cincin putih dijari manisnya. Kulepaskan
tanganku dari genggaman dokter itu. “ngga” jawabku mengusap lenganku yang sakit.
Sejurus kemudian aku melangkah pergi. Dia
berdiri mematung tetap ditempatnya. Aku berjalan semakin menjauh, melewati
setiap orang. Jauh dihatiku yang paling dalam ada rasa rindu yang tak bisa
kuungkapkan. Jantungku sempat berdegup kencang saat ia menahan tanganku tadi.
aku pernah juga merasa nyaman saat-saat didekatnya dulu. Aku bahagia bertemu
dengannya hari ini dan aku masih ingin melihatnya sekali lagi. Itu kebenaran
yang tak mampu kuabaikan. Aku berbalik kebelakang, tapi aku sudah tak
melihatnya. Terhalang sekian banyak orang, dan mungkin ia sudah pergi seperti
seharusnya. Raut wajahku berubah kecewa tanpa bisa kukendalikan. Terbesit
dipikiranku cincin yang melingkar dijari manisnya. Jadi mereka tetap bertunangan. Hatiku berkenyit. Pupus rasanya harapanku yang
sesungguhnya. Pernah berharap akan ada perasaan yang sama diantara kami, dan
akan happy ending bersamanya, dokter yang memberiku banyak kekuatan, dia yang dulu
bak superhero selalu tiba-tiba datang saat aku berada dalam kemalangan, seperti
ada sensor yang menghubungkan kami satu sama lain. Kepalaku berat, aku merasa
lelah, lelah luar biasa memikirkan bagaimana aku menajalani naskah scenario
yang dituliskan takdir oleh Tuhan. Aku kembali menuju parkiran, aku merasa seseorang memperhatikanku, seperti ada yang
mengikutiku. Aku tak mengenal siapapun, terlalu banyak orang disini. Aku menengok
sekali lagi ke belakang. Tapi sungguh
tak ada apa-apa. Aku mengeleng kepala sedikit tak percaya apa yang kupikirkan. Aku
kembali mnatap ke depan, dokter Yogi sudah ada dihadapanku memelukku tanpa mminta izik. Tubuhnya yang
tinggi, aku hanya sesikutnya saja. Aku kaget tak dapat berkata apapun, tak
mampu menolak tapi tak gi berlarut tapi kapan dan bagaimana ia bisa sudah ada disini
lagi. “I miss you”bisiknya.
ada apa dengannya tak sadarkah dia
dengan cincin dijari manisnya. Sudah
tunangan masih saja bermimpi dengan perempuan lain. Dasar tak waras. Aku melepaskan
pelukannya. “I miss you too, but I can’t..”ucapku menatapnya, kuangkat lengan
kirinya setinggi dadanya, kuingatkannya cincin pertunangannya dengan Irene. Dokter
itu mengerutkan dahi. Aku tak ingin kami terbawa suasana lagi. Aku pergi,
benar-benar meninggalkannya kali ini. Saat sampai di parkiran aku lansung masuk
ke dalam mobil. “lama banget sih Bell….?”tanya Ratna “aku lupa tempatnya….”jawabku
merengut. “ya sudah…ayo kita kemana sekarang?”tanya papa. “makan !!” jawab
Ratna cepat. “maksudnya dimana???”tanya papa lagi. Aku dan yang lain tertawa. “house
of raminten Pah..”usulku. “Ok!!”sambut papa semangat. Yang lainpun setuju. Mobil
kami meluncur ke tempat tujuan. Sepanjang perjalanan aku terbayang pertemuanku
engan dokter Yogi. Aku memejamkan mata berusaha mengenyahkan semua dari
pikiranku.
Malam hari di Jogja, suasana yang
menenangkan hati dan pikiran. Di cottage kami suasananya begitu hommy, tembang jawa
diputar sayup-sayup dan aroma lembut lilin disekitar cottage menjadi terapi alam
bawah sadar yang membuat rilex hati dan pikiran para tamu. Aku menatap keluar
jendela. Melepaskan pandangan tak tahu
kemana arahnya. “ada apa Bell?”tanya Ratna tiba-tiba. Dia duduk depanku di jendela. Dia seprtinya sudah memerhatikanku
sejak tadi. “ada apa, apa?”aku balik bertanya. “mlah balik nanya… dari pulang
dari kampus tadi kamu banyak ngelamun. Mikirin apa sih Bell?” “sok tau kamu!!” “hemh…aku
tau pasti lagi kangen dokter cintaku ia…??” Ratna mendekatkan wajahnya padaku
sambil memicingkan mata dia menggodaku. alisku mengkerut mendengarnya aku
menahan senyum sambil menggelengkan kepala. “aaa…Bella…apa donk…???”tanyanya
memaksa. aku tertawa melihat Ratna yang kelewat kepo. Baru saja akan kujawab
pintu kamar ada yang mengetuk. Aku membuka pintu, kulihat mama ada dibalik
pintu. ”mama..”sapaku, mama tersenyum. “lagi ngapain anak-anak mama nih? Curhat-curhatan
ia?”katanaya. “Bella tu mah lagi galau..”jawab Ratna mendekati kami, aku
melirik tak setuju “diihh…ada juga Ratna mah yang lagi mellow, Angga nunggu
Angga ga nyampe-nyampe..”. kini Ratna yang matanya jadi melotot karena tak
setuju denganku. Mama tertawa melihat kami. “udah..udah.. anak mama ini
dua-duanya emang ketauan lagi galau, Ratna..Angga dah di lobby lagi sama papa,
gih…kamu samperin.”kata mama, Ratna kaget “mama!! Ihh…ko ga bilang dari tadi
sih…”Ratna terburu-buru merapikan bajunya, ia berdandan lagi padahal baru saja
selesai membersihkan wajah. Ratna kemudian menemui Angga di lobby. Aku dan mama
tertawa keriweuhannya. “Bella..kamu
juga ada tamu sayang..”kata mama merapikan rambutku. Aku berkerut dahi “tamu
aku ma?”tanya ku. Mama mengangguk. “siapa??” mama mengangkat bahu, “temuin saja dulu, orangnya tadi di lobby juga sama
angga dan papa.. ”. aku bingung, tapi aku mengangguk kemudian. Mama lalu pergi
dan aku masih bertanya-tanya siapa tamu yang mencariku. Aku ke lobby tapi disana hanya ada angga dan
ratna. Aku menghairi mereka. “hai..Ngga..”sapaku pada Angga. “apa kabar Bell?” “baik..”
aku mencari-cari seseorang “papa mana
Rat?”tanyaku pada Ratna. “tanyain Papa pa nyariin seseorang?”tanya Ratna
mengulik. Aku berkerut dahi tak mengerti. “Bell…”ucap Ratna lagi sambil
menunjuk seseorang di dekat kolam renang. Siluet seorang lelaki kulihat sedang
berdiri menikmati taman. Aku menoleh ke Ratna, dia mengangguk memberi isyarat agar
aku menemuinya. Aku bertanya-tanya siapa orang itu, apakah Ratna sedang berusaha
mendekatkan ku dengan kenalannya, atau ah… aku jadi penasaran siapa dia. aku berdiri
dibelakang lelaki itu. “permisi?” lelaki itu berbalik, “mas cari sa…”aku
tak bisa menyelesaikan ucapanku. Dokter
Yogi aku terkejut. Dia memandangku
lama. Aku kikuk, bingung dan tak tahu harus mengatakan apa. “aku sangat
meridukanmu..”katanya serius. Hatiku tersentuh tapi sekuat tenaga tak kutunjukkan.
“ setiap hari aku praktek berharap kamu ke rumah sakit. Kamu menghilang gitu aja,
aku ingin minta maaf, aku pengen bilang kalo aku sangat mencintai kamu, dan aku
pengen bisa menjaga kamu seumur hidup aku..”Yogi mengatakannya penuh
kesungguhan. Aku bisa merasakan itu dari tatapannya yang dalam. Aku terdiam..
aku ingin sekali memeluknya saat ini tapi kulihat cincin di jari manisnya masih
melingkar. aku mengurungkan niatku. Sepertinya Yogi bisa membaca apa yang
kupikirkan. Ia melihatku yang menatap cincin itu. Yogi mengangkat tangannya, lalu
melepaskan cincin putih itu, dia memberikannya padaku. Aku ragu-ragu
menerimanya, kuambil juga akhirnya. Pelan-pelan kuputar cincin itu ada ukiran
sebuah nama di bagian dalamnya. Abella
MP, Abella Milan Putri itu namaku. Aku terkejut.
Aku memandang lagi Yogi, dia megeluarkan satu kecil kotak merah, dibukanya
kotak itu dan isinya juga sebuah cincin yang mirip dengan yang aku pegang. Dia mengeluarkannya,
lalu kulihat tulisan dibagian dalamnya Damar
Yogi. Mataku berkaca-kaca, ia memakaikannya di jari manisku. Dan ternyata selama
ini ia memakai cincin bertuliskan namaku. aku salah menilainya. aku hampir menangis. Aku langsung memeluknya ini bukan lagi mimpi. heebatnya
semua yang terjadi hari ini Ratna yang telah mengaturnya tanpa sepengetahuanku. “ehem..” Ratna berdehem. Aku berbalik menolehnya, dia tersenyum membuka
tangannya lebar meminta aku memeluknya. Aku memeluknya erat. “Jadi tadi kepo cuman basa-basi ajah?”tanyaku
sewot melepas pelukannya. Dia mengangguk tertawa. “jahat”ucapku “ada
yang galau seharian abis dipeluk pa dokter…” godanya sambil tertawa. Pipiku memerah
malu. Aku menutup muka dengan telapak tanganku. Yogi memegang tanganku, dia
melihat pipiku yang merah karena malu, dan memelukku lagi. “aku yang akan
menjagamu, karena keluargamu sudah menitipkan semua cintanya padaku, jadi
bahagialah disampingku”
aku agak termenung sesaat, itu seperti kata-kata Asyam. aku tersenyum.
SELESAI