Sabtu, 30 Juni 2018

TITIPAN CINTA ABELLA


 TITIPAN CINTA ABELLA


Pagi masih buta, kota Bandung masih sunyi. Jalan-jalan besar masih lengang, jauh dari hiruk pikuk macet dan antrian mobil-mobil pribadi. Kabut masih menyelimuti kota yang indah ini.  Mereka para kaum yang abadi dengan hartanya masih terlelap tidur diatas ranjang bulu dombanya berselimut bulu angsa, bergaunkan baju tidur sutera yang ulatnya saja diimport dari negeri matahari terbit. Belum lagi ritual khusus yang selalu dilakukannya sebelum tidur, segala ‘sesaji’ yang selangit harganya berderet rapi diatas meja rias demi sebuah kecantikan yang menyilaukan mata. Alangkah bahagia hidup menemukan surga dunia. Kapan aku seperti mereka? Hanya dengan mengacungkan tangan, menujuk ini dan itu, menghardik para pekerja yang tak sesuai dengan ekspektasinya, begitu mudah ia menjentikkan tangan mengumpulkan setiap lembar rupiah.bagaimana bisa di dunia ada takdir yag seperti ini. Bahkan bermimpi saja aku tak berani. Tak pernah kusangka hidup berjalan seberat ini. Dosa apakah yang telah kubuat di kehidupanku yang lalu hingga aku bertakdir seperti hari ini. Atau yang manakah ucapan syukurku yang tertinggal hingga Tuhan kecewa padaku dan  mengabaikanku hari ini. Tapi aku masih beriman, aku yakin Tuhan tak akan menguji hambaNya melewati batas kemampuannya. Semua pasti ada  hikmahnya. Meski barangkali aku hanya akan tahu apa hikmahnya setelah aku nanti terlelap mimpi selama-lamanya. Tadinya hidupku normal seperti perempuan muda pada umumnya. Aku kuliah tahun pertama, keluargaku bahagia. Tapi semua berbalik setelah kecelakaan dua tahun lalu.  Waktu itu aku sekeluarga, bersama ibu, ayah dan dua orang adik kembarku, usai melakukan perjalanan wisata ke Ujung Genteng Sukabumi. Waktu itu malam mulai larut saat kami memasuki jalan menikung di daerah pegunungan menuju kearah Bandung.  Taiba-tiba saja dari arah depan sorot lampu yang begitu silau macam kilat menyorot ke mobil kami, aku yang tengah tertidur mendengar ayahku bertakbir dengan keras “Allohu Akbar!!!!” crashhhh….tabrakan tak terhindakan, kami sekeluarga berguling-guling bersama mobil ke sisi jurang. Aku mendengar ibu dan adik-adikku berteriak menjerit kesakitan. Menyaksikan detik-detik orang tua dan satu adik kembarku menghembuskan nafas terkhirnya. Begitu pilu mengingatnya dan aku tak ingin sebenarnya tapi aku melihat semuanya. Tuhan tetap menyadarkanku saat kejadian. Hingga orang-orang dating menolong kami. Aku depresi selama hampir enam bulan, sering menjerit bila bayangan kejadian itu muncul. Sedang adikku yang selamat hingga hari ini masih belum bangun dari komanya, barangkali sesungguhnya dialam bawah sadarnya ia juga ingin bersama-sama dengan ayah, ibu dan saudara kembarnya saja disana namun masih berat mninggalkaku sendiri disini. Kuliah ku terbengkalai, beasiswa ku dicabut, dan sekarang aku bekerja di sebuah courtyard mewah hanya sebagai seorang buruh cuci piring. Tadinya aku bekerja di kasir tapi kaena aku melakukan kesalahan fatal, aku lupa minum obat terapi depresiku aku merusak banyak property dan merugikan pengunjung, aku hampir dipecat, tapi pemiliknya tak mau rugi aku disimpan di tempat cuci piring dan hanya dgaji cukup untuk makan sehari-hari. Semua harta dan rumah habis untuk biaya rumah sakit adikku satu-satunya selama koma. Aku sering menangis hingga pada akhinya, airmataku mengering, dan aku lupa caranya menangis sekarang. Aku menjadi introvert, dan dingin pada sekelilingku.
Disaat yang lain terlelap, aku tengah berjalan menenteng sepatu heelsku satu-satunya dan kinipun telah  menganga pula mulut depannya. Redup lampu penerangan jalan membuat remang-remang sepanjang jalan trotoar yang kulewati. Aku berjalan sendiri, hanya seorang diri. Jam 4 pagi, apa kata orang aku pulang jam segini sudah tak peduli. Teettt…teeteeet suara klakson mobil di belakangku. Mobilnya berjalan pelan seiring dengan langkahku. Kaca mobilnya terbuka perlahan. “yuk!”ajak lelaki dibalik kemudi. Aku tak menoleh. Wajahku tetap  tak berubah, aku dingin tak memberinya tanggapan. Lalu pria itu penasaran barangkali. Ia turun dari mobilnya, menghampiriku yang terus berjalan menatap kedepan. “kenapa sepatunya?”tanyanya lumayan ramah. “kita beli yang baru yuk..” katanya menawarkan sambil lengannya mulai menempel ke pundakku. Aku berhenti berjalan, dengan sekuat tenaga kulayangkan sepatu hak tinggiku itu ke kepalanya. Entah mendarat di sebelah mana aku tidak tahu yang jelas ia langsung berteriak kesakitan. Laki-laki itu marah dan mencoba menyakitiku, dia memaki dan menghardik dengan kata-kata kotor dan tak pantas. Aku mencoba melindungi diri saat ia hampir menonjokku. Tiba-tiba seseorang menarik lenganku sangat cepat dan membawaku naik kedalam mobilnya. Lalu kami pergi meninggalkan laki-laki brengsek itu sendiri disana. Aku sedikit merasa lega. “kamu ga papa?”Tanya orang itu tiba-tiba. Aku menoleh dan baru sadar kalau yang menyelamatkanku barusan adalah dokter Yogi, dokter yang menangani depresi ku selama ini. Karena dia aku yang hampi gila bisa tetap waras dan bangkit lagi meski sedikit.  Aku menggeleng dan menjawab kalau aku tidak apa-apa. “Bella..kamu baru pulang kerja?”Tanya nya lagi. Aku mengagguk. “jam segini??” aku terdiam. Mungkin dia berfikir yang sama dengan kebanyakan orang diluar sana. Aku sudah pasrah dengan penilaian manusia. “jangan salah paham..aku tau kamu seperti apa, aku yakin kamu bukan seperti yang laki-laki tadi kira. Tapi lain kali usahakan kamu ngga pulang jam-jam segini, atau larut malam…untung saya pulang jaga dan lewat sana tadi, kalu tidak?? Dia bisa nyelakain kamu..”ucapannya sepenuhnya benar.  ” mungkin lebih baik aku celaka Dok… semua selesai.”ucapku memandang ke jalanan sepi. Dokter yogi menghentikan mobilnya membuatku tersadar. Aku menoleh padanya, ia sedang menatapku. “kamu gimana sih Bella?? Percuma selama setahun ini saya berusaha buat kamu kalau kamu sepeti ini”, dia bicara seolah aku ini kekasihnya, yang benar aku ini pasiennya. “jangan bicara begitu lagi!! Berjuang demi adikmu” katanya melanjutkan. Aku lelah, aku tak menjawab apa-apa. “kita beli sepatu kamu dulu, setelah itu saya antar kamu pulang.”katanya kembali mengemudikan setirnya. Dulu aku pernah takut hidup, saat semua kesedihan dating silih berganti tapi kemudian aku mengenal dokter muda bernama Yogi Fernandi, spesialisasinya kejiwaan. Aku pikir dulu aku memang hampir-hampir masuk rumah sakit jiwa. Kehadirannya sedikit memberiku oase di tengah padang pasir yang panas dan tandus. Meski dia kadang-kadang bersifat fana.
Pagi ini aku ke rumah sakit, suster menelepon dan memintaku untuk datang. Aku bersiap merapihkan diri, sepatu pemberian dokter Yogi aku pakai. Warnanya peach warna kesukaanku. Dia memilihkannya untukku  katanya itu cantik dan  cocok dengan warna kulit ku yang putih kngsat ini. Aku melihat diriku dicermin sejujurnya aku masih cantik. Sejenak aku lupa semuanya, lalu semua beban hidup itu datang lagi. Akau bergegas berangkat ke rumah sakit. Di ruang PICU adikku yang malang masih terbaring tak berdaya. “mba Bella..” aku menoleh kea rah suara “ya suster…” “silahkan masuk dokter sudah didalam”katanya memersilahkan aku masuk ke ruangan isolasi. Disana nampak Dokter Dzukfikar dokter yang selama ini menangani Asyam tengah melihat data perkembangan terakhirnya. Yang tak kusangka dan membuatku bingung ada Dokter Yogi juga disini. Ia melihatku duluan, ia memandangku seperti terkesima membuatku risih dan canggung.  Ia datang menghampiriku, melihat sepatu pemberiannya kupakai senyumnya mengembang sumringah. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi dokter Dzulfikar kemudian melihat dan memanggilku. Aku bergegas menemuinya “gimana Asyam sekarang Dok? ”tanyaku. “sangat baik, insya Allah, secepatnya kita akan dapat kabar baik ”katanya optimis. “Alhamdulillah…”syukurku pada yang maha kuasa. Kabar yang lama kutunggu-tunggu. Aku merindukannya, ingin melihat Asyam adikku sadar dan bicara kepadaku lagi. Agar aku tak merasa sendiri di dunia ini. 
“kaka…” tiba-tiba Asyam sadar dan memanggilku. Aku agak kaget aku langsung menghampiri Asyam, dokter Dzulfikar dan dokter Yogi dibelakangku berdiri turut menghampiri Asyam. “Asyam….”aku menyapanya, senang sekali hatiku melihat kabar baik itu akhirnya terjadi juga hari ini. “alhamdulillah…”ucapku mengecup keningnya. Asyam melihatku sembari tesenyum. Mataku berkaca-kaca senang sekali melihatnya akhirnya sadar.  “kaka….”katanya dengan lemah. “kaka….aku..sakit..aku ingin ikut ibu..ayah..”katanya lagi dengan lemah. Air mataku berlinang mendengarya, aku tak sanggup mengucapkan apapun. Hatiku berbalik sedih, benar sepertinya kalau selama dua tahun ini Asyam bertahan hanya karena berat untuk meninggalkanku sendirian di dunia ini. Mungkin hari ini ia bangun hanya untuk ini.  aku makin terisak mendengarnya. “kaka..ada Asraf..”katanya lagi. Aku makin terisak, aku menggeleng tak mau ia bicara seperti itu. Aku tidak ingin Asyam meninggalkanku. Aku memeluknya lama. Asyam tertidur lagi, aku hampir kaget mengira ia sudah tak ada. Aku tidak mau kemana-mana. Aku terus disisinya, aku tak ingin ayah,ibu dan Asraf membawanya kalau bisa. Dokter menyarankan aku agar beristirahat. Di ruangan hanya ada kami berdua. Sepanjang malam aku menjaganya. Pagi-pagi aku terbangun, rupanya aku ketiduran juga. Sebuah selimut melingkar di punggungku, aku merasa aneh, karena semalam aku tak mengenakannya. “pagi…”Yogi muncul dari balik pintu. “kamu ga tidur semalaman Bell?”tanyanya. “aku malah ketiduran Dok.. ”jawabku malu. Yogi tertawa,”kamu kecapean itu..”hari ini dokter dzulfikar datang siang, kamu kalo ada apa-apa hubungi saya aja..”. sejujurnya aku agak bingung kenapa harus menghubnginya, sedang Yogi adalah dokterku, dokter spesialis kejiwaan. “kaka…”, pikiranku terpecah semua mendengar suara Asyam.”ya..knapa?”aku agak panik dan cemas. “kaka…aku haus…aku mau minum..” mengambilkannya segelas air minum tapi saat aku kembali,aku melihat Yogi tengah melakukan CPR, sebuah tindakan yang berupaya mengembalikan kerja jantung agar berdegup lagi. Aku syok tak percaya, setengah berlari ku hampiri adikku itu. Aku hanya semenit meninggalkannya Asyam sudah  tak sadar lagi. Dan ia benar-benar meninggalkanku. Aku bersimpuh menangis disamping ranjangnya, kakiku tak mampu lagi berdiri. Perjuanganku mempertahankannya berakhir sia-sia. Aku merasa tak kuat dengan semua ini. Dokter memelukku. Dia mencoba menguatkan aku. Tangisku pecah menyayat hati.  Seluruh ruangan turut merasakan kepedihan yang kualami. Saat aku keluar dari ruang intensif PICU setiap orang memandangku sedih, mereka semua tahu cerita hidupku yang memilukan hati. Sambil memapahku berjalan Yogi membantuku berjalan. Kesedihanku terlalu dalam, membuat tubuh ini lemas rasa melayang, lalu aku terjatuh di pangkuannya, dan dia membopongku kemudian. Saat sadar aku sudah terbaring di ranjang pasien. Ada suster yang menjagaku, Barangkali mereka takut aku depresi dan berbuat nekat dengan bunuh diri lagi. Sejujurya aku telah pasrah, kemanapun takdir membawaku pergi aku tak akan menjauh dan berusaha lari lagi.

Setelah pemakaman Asyam, aku terdiam di hadapan empat pusara makam keluargaku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku bahkan tersungkur di atas tanah tempat mereka terbaring. Aku tak kuasa menahan sendiri semuanya. Sejujurnya aku juga ingin mati saja. Aku melihat ada botol air tertinggal bekas pemakaman tadi. Terbesit melakukannya, meski pikiranku berusaha mengendalikannya, tapi perasaanku membenarkan aku bunuh diri saja. Aku ambil botol beling itu, kupukulkan pada tembok makam dan seketika pecahlah botol itu menjadi berkeping-keping. Ku ambil bagian terkecilnya lalu kusayatkan ke pergelangan tangan. “Bella..!” “Bella apa yang kamu lakuin?..” yogi merebut pechan beling besimbah darah dari genggamanku, dia merangkulku yang terkulai lemas, menempatkan kepalaku dipangkuannya. "Bella...."ucapnya bergetar terdengar hampir menangis. pergelangan tanganku sobek  mataku perlahan tertutup dan gelap semuanya. tapi tiba-tiba semua terang benderang.Aku bermimpi, bertemu semuanya ada ayah, ibu dan kedua adik kembarku. Aku memeluk mereka melepas rindu. Aku ingin ikut tapi mereka bilang tak boleh. “kaka….berbahagialah… siapapun yang nanti menjagamu, kami titipkan cinta kami untukmu padanya” Asyam bicara padaku. Lalu mereka tersenyum sembari berjalan menjauh meninggalkanku.

aku berusaha mengejar tapi tak bisa kukejar justru kini suara lain aku dengar… “Bella…aku mencintaimu, mungkin kamu ngga pernah sadar, bahwa aku selalu berusaha menjagamu. aku berusaha mengembalikan dunia yang indah dihatimu lagi. jangan takut lagi untuk hidup, aku yang akan membahagiakanmu mulai saat ini.. jadi bangunlah..dan lihat aku!! sadarlah Bella...!!” suaranya terdengar begitu jelas tapi aku tak melihat siapapun, sekelilingku kosong. Aku berusaha bangun, sekuat tenaga aku berusaha kembali sadar. Aku ingin melihat siapa dia. tapi tubuhku lemah tak berdaya.
“Bella…” perlahan mataku terbuka, samar pandanganku melihat pijar lampu. Aku merasa lemah, tanganku seperti kaku. Seseorang merangkulku hangat, aku bisa merasakan degupan jantungnya. “syukurlah kamu akhirnya sadar..” dia berbisik mengelus kepalaku. Aku tak tahu siapakah yang sedang memelukku ini. Aku ingin melihat wajahnya. Dia melepaskan pelukannya, wajahnya mendekat, aku melihat dokter Yogi. Ya…dokter Yogi ada dibelakangnya. Bukan Yogi yang memelukku rupanya. Ku tatap wajah orang yang ada dihadapanku, senyumnya manis sekali, lama tak pernah kutemui senyum itu, dia sahabatku Ratna. Bestfriend saat SMAdulu. Aku sangat merindukannya. Tempatku berbagi cerita susah dan senang semasa remaja. Air matanya menetes, ia menangis melihatku, begitupun aku, banyak yang ingin kuceritakan kepadanya tapi aku hanya mampu mengatakannya dengan air mata.
Berangsur kesehatanku membaik, ada Ratna yang kini selalu menjengukku setiap hari. Kuliahnya di Yogya sudah selesai tinggal menunggu wisuda. Aku turut senang mendengarnya. “Bella…kita hari ini pulang.. kita pulang kerumah aku.” Katanya sambil membuka gorden jendela. “ga usah Rat…ngerepotin, aku pulang ke kosan aja.. ” “ngga!! pulang krumah aku aja, papa dan mama dah nunggu dirumah. Jangan coba-coba nolak. Lagian siapa yang akan rawat kamu kalo kamu pulang ke kosan?” “tapi aku dah sehat Rat, aku ngga knapa-knapa sekarang”aku berusaha meyakinkan Ratna kalau aku tidak ingin merepotkan keluarganya
 “lebih baik memang kamu tinggal bersama keluarga Ratna, Bella…” tiba-tiba Yogi muncul menimpali percakapan kami. “kalau kamu mau pulang ke kosan, lebih baik kamu tetap disini”lanjutnya tegas. Ratna melirikku dengan tatapan menggoda, aku balik memandangnya penuh tanya. “aku udah sehat Dok..”jawabku. “aku takut kamu nekat lagi” kata-katanya terdengar agak rancu di telingaku. Aku?sejak kapan dia bicara aku dan kamu seperti ini. “tuh…dokter Yogi aja segitu khawatirnya, jadi jangan keras kepala lagi! ” ucap Ratna

"baiklah ayo kita cek lagi pagi ini keadaan kamu.." dokter Yogi memecah kebingunganku. Ratna masih senyum-senyum lirik-lirik main mata dan alisnya  seperti memberi kode aku masih tak faham apa sebenarnya yang ia maksudkan. 


Kesehatanku mulai membaik, seminggu sekali aku masih terapi psikisku untuk memulihkan semua ketegangan emosionalku selama dua tahun terakhir ini. Aku tinggal bersama keluarga Ratna sekarang. Mereka menjagaku memperlakukan aku seperti keluarganya sendiri.  Kabarku dengan Yogi masih sama, sebatas dokter dan pasiennya. Sesekali ia  mengirim whatsapp menanyakan keadaanku, hanya kujawab seperlunya. Hari ini kuputuskan akan mendatangi tempatku bekeja dan memutuskan resign. Setibanya disana aku langsung ke belakang. “liat bu Irene ga?”tanyaku pada salah satu teman kerja. “ada tadi sih didepan. Katanya lagi ada tunangannya gituh” “bagus donk, moodnya brarti lagi bagus, aku muw resign..” aku memelankan suara. Temanku mengangkat  jempol tangannya sembari senyum. Aku kedepan hendak menemui bu Irene. Sebenarnya ia belum terlalu tua, baru sekitar 30tahunan kukira.  Tapi disana aku melihat  sosok yang tak asing dimataku. Aku terdiam untuk beberapa saat, untuk apa dia ada disini meskipun sebenarnya aku tak pantas bertanya kenapa orang yang kukenal ada disini. Tentu saja segala kemngkinan itu bisa dipantaskan. Karena ini tempat terbuka untuk siapapun. Aku mulai berfikir barangkali ia tengah makan bersama keluarga besarnya, dengan teman-temannya, dengan para koleganya atau mungkin dengan calon istrinya. Aku tak peduli. Yang mengusikku hanyalah kenapa ia begitu intim berada disamping Irene. Apa sebenarnya selama ini dia tahu aku bekerja di tempat ini? Aku jadi menebak-nebak apa sebenarnya yang dihadapanku ini. Aku tegakkan kepala menghampiri Irene, saat aku hampir mendekat dengan mereka, Yogi  justru  beranjak dari sisi Irene, kulihat dia berbisik ke telinga Irene, Irene tersenyum mengangguk lalu Yogi meninggalkannya. Seperti secara tak sadar ia menghindariku.  “Bu Irene…”, yang ku sapa menoleh kearahku. Wajahnya yang belasteran indo belanda yang sebelumnya sumringah berubah masam tak bersahabat macam  VOC  yang kehilangan upeti dari rakyat  jajahannya. “ada yang mau saya sampaikan..” matanya memutar sadis, aku aneh melihat dia bisa berubah menjadi sedingin itu dalam waktu beberapa detik saja. Sangat berbeda raut wajahnya saat  dihadapanku dengan saat dia bersama Yogi. Inikah yang namanya topeng manusia? Akan  terdeskripsikan  berbeda pada setiap orang yang ditemuinya meski disaat hampir bersamaan. “ikut saya!!” ajaknya serius. Aku berjalan dibelakang mengikuti langkah anggunnya. Wanita sosialita kota besar, pakaian nya yang tak kulihat ada di pasar tumpah semodel Gasibu, rambutnya coklat kemerahan macam rambut jagung berkolaborasi cantik dengan kulitnya yang putih kemerahan. Bagai boneka Barbie kesukaanku kecil dulu namanya Angela, Barbie pertama dan satu-satunya pemberian ibu karena kemudian aku berubah haluan dan lebih menyukai robot karena Asyam dan Asraf selalu memainkannya. Kami masuk ke ruangan kerjanya. Tempat dia memantau pergerakan pundi-pundi rupiahnya yang dihasilkan dari dapur, terhidang di depan courtyard, kerja keras kami para karyawan. Irene duduk di kursi singgasana kekuasaannya. “ada apa?”tanyanya tanpa basa-basi. aku menghela nafas, menyerahkan amplop coklat yang sedari tadi ku tenteng-tenteng. “saya mau resign Bu Irene..” dia tak menyentuh amplop yang kuberikan. Dia justru menyandarkan punggungnya ke kursi hitam mewah itu. “kamu mau resign? Kamu kira urusanmu sudah selesai?” aku terdiam. “kamu masih banyak berhutang sekarang kamu mau lari? Kamu nantangin saya laporka kamu ke polisi?? ” “tapi saya sudah selesain total kerugian itu lebih dari 50%nya Bu Irene…kenapa ga ada kebijksaaan dari ibu untuk saya?” “enaknya kamu bicara soal kebijakan!! Kamu pikir ini koperasi? Selesaikan pekerjaan kamu cuci piring sekarang, atau saya angkat telepon dan menghubungi polisi karena kamu coba-coba lari” ancamnya. Aku keluar dari ruangan. Langkahku gamang bisakah aku membuatnya jera dengan keangkuhan yang dia perlihatkan. Aku berhenti di sudut lorong, termenung dengan banyak yang kupikirkan. “Bella…” aku menegakkan kepala.  “ngapain kamu disini?”tanya Yogi yang tiba-tiba saja sudah ada di hadapanku. “Sayaang…”dari pintu ruangan kerjanya Irene memanggil Yogi dengan panggilan Sayang. Yogi menoleh padanya lalu melihatku lagi.  “permisi Dok…” pamitku. Aku kembali ke dapur, melangkah perlahan ke tempat biasa ku berdiri. Setumpuk piring kotor dan sekuunya menanti. Kupandang sekeliling, mereka semua hanya bekerja tak pedulikan perasaan yang terpenting adalah kebutuhan keluarga yang menantikan mereka dirumah. Tanggung jawab pada keluarga mengabaikan  egois, harga diri hingga perasaan.  Semua sekedar rutinitas demi upah di penghujung bulan. Aku teringat kelargaku, mengingat ayah yang telah bekerja keras demi memenuhi kebutuhan kami sekeluarga. Kini aku tahu beban berat dan lelah yang menderanya. Dalam hati kukirimkan alfatihah dan doa orang tua untuknya. Tanganku baru memulai hendak mengambil satu piring kotor, tiba-tiba lenganku ditarik kasar, seketika piring yang kupegang terlepas jatuh dan pecah dilantai.plakk!! sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku terhuyung sesaat sebelum aku sadar kalau pipiku kini perih. “kamu!! Jangan sok lugu dan cari perhatian lagi di depan tunangan saya!!”ancamnya dengan raut wajah serius. Aku bingung dengan apa yang membuatnya marah. “saya ga ngerti apa maksud ibu??” Irene mendorongku hingga jatuh lalu dengan jahatnya ia siramkan air kotor ke bajuku. ”Irene!!!”hardik Yogi yan baru datang dari baik pintu. “apa-apaan ini?! Kamu keterlaluan!!”  Yogi mencoba membantuku tapi aku mengelak, air mataku jatuh. “kamu ga boleh bantuin dia!!” irine mengamuk tak terkendali. “kamu ga tau siapa dia??”teriaknya lagi. “Irene  stop!!! Dia pasien aku, Aku jauh lebih mengenal dia daripada kamu.!!”. aku malu teman-teman kerjaku melihat kejadian ini. Mereka menonton drama live tanpa edit seperti ini. Aku berdiri perlahan dan Yogi kembali membantuku. “oooh….jadi dia ini pasien kamu, pantesan aja… memang dia orang gila kalau begituh, ok!! Aku gakan cemburu lagi, gamau gue cemburu ma orang gila”cibirnya membuatku menangis dan meninggalkan dapur. Plakk sekali lagi aku mendengar sebuah tamparan, kini kita satu sama Irene pikirku dalam sedetik saja. Samar sembari aku keluar terdengar olehku Yogi mengatakan putus dan pertunangan mereka batal. Irene berteriak dan aku tak tahu lagi setelahnya. Dokter Yogi tunangan bosku di courtyard.  Aku tak percaya dunia terlalu sempit untukku melangkah
Sejak kejadian itu aku tak pernah kembali ke rumah sakit. Sudah lima bulan berlalu. Ratna sudah diwisuda, sekarang ada gelar sarjana sarjana teknik sipil dibelakang namanya. Aku cemburu dengan keberhasilannya. Hari itu kami semua turut bahagia mengantarnya diwisuda. Ratna mmemelukku erat. Kami sama-sama menangis. “bella… terusin kuliah kamu lagi ia.. kita mulai semester depan. ” katanya. Aku kaget, lalu ayah dan ibunya memelukku penuh cinta. “kami senang kalau Bella mau melanjutkan kuliah lagi.. mau kan??”tanya ibunda Ratna, aku mengangguk angguk penuh haru. “makasih ma…pa…”ucapku terisak. “ah…udah jangan sedih-sedih terus, kita makan yuk mah..pah..? laper ini..”ajak Ratna. Kami semua tertawa setuju. “Bella ke toilet dulu kalo gitu ia..”pamitku. aku berjalan memecah kerumunan wisudawan wisudawati dan para keluarganya. Aku melihat pemandangan yang amat mahal. Banyak diantara mereka yang diantar keluarga besarnya, sanak famili, keluarga calon pasangan hidup, ada yang membawa rombongan sampai 3 mobil. Mereka berhasil membanggakan hati orangtua dan orang-orang disekitarnya. Mendadak aku merindukan ayah, ibu, Asyam dan Asraf. Mataku nanar tapi aku kini mulai tabah dan sudah ikhlas. Aku duduk di sebuah bangku usai ke toilet, memandang mereka semua, tak ada satupun yang bersedih. Semua tertawa bahkan tangispun itu karena terlalu bahagia. Hari ini aku senang, akhirnya aku bisa kuliah lagi. Aku mendapat keluarga baru, dengan limpahan kasih sayang dan cinta dari mereka. Aku teringat Asyam “kaka….berbahagialah…! siapapun yang nanti menjagamu, kami titipkan cinta kami untukmu padanya”aku tersenyum mengingatnya, air mataku menetes. Mereka tidak berbohong.  Aku beranjak dari tempat itu dan kembali, berjalan sambil melihat handphoneku yang berbunyi. Ratna menelepon, “dimana Bell?” “ni muw kesitu..lupa sebelah mana tadi..” aku tiba-tiba bingung karena terlalu banyak orang. “kalo gituh ditunggu di mobil aja ia” “ok” aku sibuk dengan teleponku hingga menabrak seseorang “maaf..”ucapku Handphoneku terjatuh, aku berjongkok mengambilnya “maaf..maaf..mbak” kami sama-sama mengucapkan maaf dan kami sama-sama kaget saat bertatap muka. “Bella….” Yogi lebih dulu menyapaku. Aku tersenyum canggung “apa kabar Dok?” “sekarang di Yogya?”tanyanya “Ratna hari ini wisuda, kami semua kesini”jawabku singkat. ”kebetulan dah seminggu saya tugas di RSUD Yogyakarta, dan hari ini teman saya wisuda S2 nya, jadi saya ada disini”, sungguh aku tak bertanya meskipun itu membuatku tahu kenapa ia ada disini. “kamu ga pernah ke rumah sakit lagi”. Ucapannya terdengar samar antara bertanya dan tidak. Aku hanya senyum kecil menggelengkan kepala. ”itu bagus..”katanya memuji.  “kalo gitu saya duluan dok, permisi”, Yogi menahan lenganku. Jantungku berdegup lebih kencang. “kita ketemu lagi kan??” tanyanya dengan tatapan yang dalam.

Aku diam mata kami saling menusuk kedalam kalbu. Saling melempar pesan rindu yang tak mampu terucapkan. Aku berpaling dari matanya tak kuasa berlama-lama, bisa tak berdaya aku dihadapannya, tak sengaja kulihat cincin putih dijari manisnya. Kulepaskan tanganku dari genggaman dokter itu. “ngga” jawabku mengusap lenganku yang sakit. Sejurus  kemudian aku melangkah pergi. Dia berdiri mematung tetap ditempatnya. Aku berjalan semakin menjauh, melewati setiap orang. Jauh dihatiku yang paling dalam ada rasa rindu yang tak bisa kuungkapkan. Jantungku sempat berdegup kencang saat ia menahan tanganku tadi. aku pernah juga merasa nyaman saat-saat didekatnya dulu. Aku bahagia bertemu dengannya hari ini dan aku masih ingin melihatnya sekali lagi. Itu kebenaran yang tak mampu kuabaikan. Aku berbalik kebelakang, tapi aku sudah tak melihatnya. Terhalang sekian banyak orang, dan mungkin ia sudah pergi seperti seharusnya. Raut wajahku berubah kecewa tanpa bisa kukendalikan. Terbesit dipikiranku cincin yang melingkar dijari manisnya. Jadi mereka tetap bertunangan.  Hatiku berkenyit. Pupus rasanya harapanku yang sesungguhnya. Pernah berharap akan ada perasaan yang sama diantara kami, dan akan happy ending bersamanya, dokter yang memberiku banyak kekuatan, dia yang dulu bak superhero selalu tiba-tiba datang saat aku berada dalam kemalangan, seperti ada sensor yang menghubungkan kami satu sama lain. Kepalaku berat, aku merasa lelah, lelah luar biasa memikirkan bagaimana aku menajalani naskah scenario yang dituliskan takdir oleh Tuhan. Aku kembali menuju parkiran, aku merasa  seseorang memperhatikanku, seperti ada yang mengikutiku. Aku tak mengenal siapapun, terlalu banyak orang disini. Aku menengok sekali lagi ke  belakang. Tapi sungguh tak ada apa-apa. Aku mengeleng kepala sedikit tak percaya apa yang kupikirkan. Aku kembali mnatap ke depan, dokter Yogi sudah ada dihadapanku  memelukku tanpa mminta izik. Tubuhnya yang tinggi, aku hanya sesikutnya saja. Aku kaget tak dapat berkata apapun, tak mampu menolak tapi tak gi berlarut tapi kapan dan bagaimana ia bisa sudah ada disini lagi. “I miss you”bisiknya.
ada apa dengannya tak sadarkah dia dengan cincin dijari manisnya. Sudah tunangan masih saja bermimpi dengan perempuan lain. Dasar tak waras. Aku melepaskan pelukannya. “I miss you too, but I can’t..”ucapku menatapnya, kuangkat lengan kirinya setinggi dadanya, kuingatkannya cincin pertunangannya dengan Irene. Dokter itu mengerutkan dahi. Aku tak ingin kami terbawa suasana lagi. Aku pergi, benar-benar meninggalkannya kali ini. Saat sampai di parkiran aku lansung masuk ke dalam mobil. “lama banget sih Bell….?”tanya Ratna “aku lupa tempatnya….”jawabku merengut. “ya sudah…ayo kita kemana sekarang?”tanya papa. “makan !!” jawab Ratna cepat. “maksudnya dimana???”tanya papa lagi. Aku dan yang lain tertawa. “house of raminten Pah..”usulku. “Ok!!”sambut papa semangat. Yang lainpun setuju. Mobil kami meluncur ke tempat tujuan. Sepanjang perjalanan aku terbayang pertemuanku engan dokter Yogi. Aku memejamkan mata berusaha mengenyahkan semua dari pikiranku.

Malam hari di Jogja, suasana yang menenangkan hati dan pikiran. Di cottage kami suasananya begitu hommy, tembang jawa diputar sayup-sayup dan aroma lembut lilin disekitar cottage menjadi terapi alam bawah sadar yang membuat rilex hati dan pikiran para tamu. Aku menatap keluar jendela. Melepaskan pandangan  tak tahu kemana arahnya. “ada apa Bell?”tanya Ratna tiba-tiba. Dia duduk depanku di  jendela. Dia seprtinya sudah memerhatikanku sejak tadi. “ada apa, apa?”aku balik bertanya. “mlah balik nanya… dari pulang dari kampus tadi kamu banyak ngelamun. Mikirin apa sih Bell?” “sok tau kamu!!” “hemh…aku tau pasti lagi kangen dokter cintaku ia…??” Ratna mendekatkan wajahnya padaku sambil memicingkan mata dia menggodaku. alisku mengkerut mendengarnya aku menahan senyum sambil menggelengkan kepala. “aaa…Bella…apa donk…???”tanyanya memaksa. aku tertawa melihat Ratna yang kelewat kepo. Baru saja akan kujawab pintu kamar ada yang mengetuk. Aku membuka pintu, kulihat mama ada dibalik pintu. ”mama..”sapaku, mama tersenyum. “lagi ngapain anak-anak mama nih? Curhat-curhatan ia?”katanaya. “Bella tu mah lagi galau..”jawab Ratna mendekati kami, aku melirik tak setuju “diihh…ada juga Ratna mah yang lagi mellow, Angga nunggu Angga ga nyampe-nyampe..”. kini Ratna yang matanya jadi melotot karena tak setuju denganku. Mama tertawa melihat kami. “udah..udah.. anak mama ini dua-duanya emang ketauan lagi galau, Ratna..Angga dah di lobby lagi sama papa, gih…kamu samperin.”kata mama, Ratna kaget “mama!! Ihh…ko ga bilang dari tadi sih…”Ratna terburu-buru merapikan bajunya, ia berdandan lagi padahal baru saja selesai membersihkan wajah. Ratna kemudian menemui Angga di lobby. Aku dan mama tertawa keriweuhannya. “Bella..kamu juga ada tamu sayang..”kata mama merapikan rambutku. Aku berkerut dahi “tamu aku ma?”tanya ku. Mama mengangguk. “siapa??” mama mengangkat bahu, “temuin  saja dulu, orangnya tadi di lobby juga sama angga dan papa.. ”. aku bingung, tapi aku mengangguk kemudian. Mama lalu pergi dan aku masih bertanya-tanya siapa tamu yang mencariku.  Aku ke lobby tapi disana hanya ada angga dan ratna. Aku menghairi mereka. “hai..Ngga..”sapaku pada Angga. “apa kabar Bell?” “baik..” aku mencari-cari seseorang “papa mana  Rat?”tanyaku pada Ratna. “tanyain Papa pa nyariin seseorang?”tanya Ratna mengulik. Aku berkerut dahi tak mengerti. “Bell…”ucap Ratna lagi sambil menunjuk seseorang di dekat kolam renang. Siluet seorang lelaki kulihat sedang berdiri menikmati taman. Aku menoleh ke Ratna, dia mengangguk memberi isyarat agar aku menemuinya. Aku bertanya-tanya siapa orang itu, apakah Ratna sedang berusaha mendekatkan ku dengan kenalannya, atau ah… aku jadi penasaran siapa dia. aku berdiri dibelakang lelaki itu. “permisi?” lelaki itu berbalik, “mas cari sa…”aku tak bisa menyelesaikan ucapanku. Dokter Yogi  aku terkejut. Dia memandangku lama. Aku kikuk, bingung dan tak tahu harus mengatakan apa. “aku sangat meridukanmu..”katanya serius. Hatiku tersentuh tapi sekuat tenaga tak kutunjukkan. “ setiap hari aku praktek berharap kamu ke rumah sakit. Kamu menghilang gitu aja, aku ingin minta maaf, aku pengen bilang kalo aku sangat mencintai kamu, dan aku pengen bisa menjaga kamu seumur hidup aku..”Yogi mengatakannya penuh kesungguhan. Aku bisa merasakan itu dari tatapannya yang dalam. Aku terdiam.. aku ingin sekali memeluknya saat ini tapi kulihat cincin di jari manisnya masih melingkar. aku mengurungkan niatku. Sepertinya Yogi bisa membaca apa yang kupikirkan. Ia melihatku yang menatap cincin itu. Yogi mengangkat tangannya, lalu melepaskan cincin putih itu, dia memberikannya padaku. Aku ragu-ragu menerimanya, kuambil juga akhirnya. Pelan-pelan kuputar cincin itu ada ukiran sebuah nama di bagian dalamnya. Abella MP, Abella Milan Putri itu namaku. Aku terkejut. Aku memandang lagi Yogi, dia megeluarkan satu kecil kotak merah, dibukanya kotak itu dan isinya juga sebuah cincin yang mirip dengan yang aku pegang. Dia mengeluarkannya, lalu kulihat tulisan dibagian dalamnya Damar Yogi. Mataku berkaca-kaca, ia memakaikannya di jari manisku. Dan ternyata selama ini ia memakai cincin bertuliskan namaku. aku salah menilainya. aku hampir menangis. Aku langsung  memeluknya ini bukan lagi mimpi. heebatnya semua yang terjadi hari ini Ratna yang telah mengaturnya tanpa sepengetahuanku. “ehem..” Ratna berdehem. Aku berbalik menolehnya, dia tersenyum membuka tangannya lebar meminta aku memeluknya. Aku memeluknya erat.  “Jadi tadi kepo cuman basa-basi ajah?”tanyaku sewot melepas pelukannya. Dia mengangguk tertawa. “jahat”ucapku “ada yang galau seharian abis dipeluk pa dokter…” godanya sambil tertawa. Pipiku memerah malu. Aku menutup muka dengan telapak tanganku. Yogi memegang tanganku, dia melihat pipiku yang merah karena malu, dan memelukku lagi. “aku yang akan menjagamu, karena keluargamu sudah menitipkan semua cintanya padaku, jadi bahagialah disampingku”
aku agak termenung sesaat, itu seperti kata-kata Asyam. aku tersenyum. 
SELESAI